Post-Divorce Child Maintenance and Social Justice in Rural Indonesia

Abstract

This study investigates the neglect of post-divorce child maintenance in rural Indonesia as a critical intersection of family law, social justice, and legal enforcement. Focusing on Kotabunan Village in North Sulawesi, it applies a socio-legal qualitative method that combines normative analysis of Indonesian and Islamic legal frameworks with empirical fieldwork, including interviews with divorced parents and community leaders. The findings identify three dominant patterns of child maintenance neglect: total abandonment, irregular support, and transfer of responsibility to the maternal family, driven by economic hardship, low legal awareness, and entrenched patriarchal norms. These factors contribute to a persistent gap between legal norms and actual practices, resulting in structural injustice for custodial mothers and children. From the perspective of jurisprudence and social justice, the study reveals that formal legal provisions are ineffective without cultural internalization and institutional enforcement. It argues that post-divorce child maintenance neglect is not merely a private matter but a systemic issue requiring multi-level interventions, including legal education, stronger enforcement mechanisms, and socio-economic support for single mothers. This research offers an interdisciplinary contribution to the discourse on child rights and legal pluralism in developing contexts.

Studi ini menyelidiki pengabaian pengasuhan anak pasca-perceraian di pedesaan Indonesia sebagai titik temu penting antara hukum keluarga, keadilan sosial, dan penegakan hukum. Berfokus pada Desa Kotabunan di Sulawesi Utara, studi ini menerapkan metode kualitatif sosio-legal yang menggabungkan analisis normatif kerangka hukum Indonesia dan Islam dengan penelitian lapangan empiris, termasuk wawancara dengan orang tua yang bercerai dan tokoh masyarakat. Temuan penelitian mengidentifikasi tiga pola dominan pengabaian pengasuhan anak: penelantaran total, nafkah tidak teratur, dan pengalihan tanggung jawab kepada keluarga ibu, yang didorong oleh kesulitan ekonomi, rendahnya kesadaran hukum, dan norma-norma patriarki yang mengakar. Faktor-faktor ini berkontribusi pada kesenjangan yang terus-menerus antara norma hukum dan praktik nyata, yang mengakibatkan ketidakadilan struktural bagi ibu dan anak yang memiliki hak asuh. Dari perspektif yurisprudensi dan keadilan sosial, studi ini mengungkapkan bahwa ketentuan hukum formal tidak efektif tanpa internalisasi budaya dan penegakan kelembagaan. Studi ini berargumen bahwa pengabaian pengasuhan anak pasca-perceraian bukan sekadar masalah pribadi, tetapi masalah sistemik yang membutuhkan intervensi multi-level, termasuk pendidikan hukum, mekanisme penegakan hukum yang lebih kuat, dan dukungan sosio-ekonomi bagi ibu tunggal. Penelitian ini menawarkan kontribusi interdisipliner terhadap wacana tentang hak-hak anak dan pluralisme hukum dalam konteks berkembang.